LAMPUMERAHNEWS.ID - Kegilaan investasi dalam eksplorasi pertambangan di Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar terhadap lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini diungkapkan oleh Adi Putra (Adhyp Glank), seorang aktivis dalam Forum Kajian Otonomi Daerah, dalam sebuah diskusi di Bekasi pada hari Kamis (2/11/2023).
"ESG sebagai standarisasi perusahaan memiliki keterkaitan erat dengan Environmental (Lingkungan), Sosial (Sosial), dan Tata Kelola (Tata Kelola Perusahaan) yang dalam praktik investasi pertambangan telah gagal," kata aktivis yang akrab disapa Adhyp.
Ia menjelaskan bahwa investasi pertambangan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang massif, konflik sosial yang meluas, dan pelanggaran hukum yang sistematis.
"Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh eksplorasi pertambangan meliputi kerusakan tanah, air, udara, dan habitat flora dan fauna," tegas Adhyp. "Konflik sosial yang terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat setempat dan para pekerja sering kali berujung pada kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia."
Adhyp juga menyoroti bahwa investasi pertambangan tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat.
"Mayoritas keuntungan dari investasi pertambangan mengalir ke kantong para investor dan perusahaan pertambangan, sementara masyarakat setempat hanya mendapatkan sedikit manfaatnya," kata Adhyp.
Ia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan kegilaan investasi dalam pertambangan.
"Pemerintah harus menerapkan regulasi yang lebih ketat untuk kegiatan eksplorasi pertambangan," papar Adi Putra. "Selain itu, pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan pertambangan yang melanggar peraturan dan mencabut izinnya serta memperhatikan kelestarian dan kontribusi terhadap masyarakat sekitar"
Ia menjabarkan secara detail Referensi Hukum atas dugaan pelanggaran hukum yang berkaitan dan bertentangan dengan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2018 tentang Standar Evaluasi Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga Prinsip-prinsip ESG dari Global Reporting Initiative
Dalam diskusi tersebut, Adhyp juga mengkritik kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah saat ini lebih berpihak pada kepentingan investor dan perusahaan pertambangan daripada kepentingan rakyat.
"Pemerintah seharusnya mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tegas Adhyp. "Namun, kebijakan pemerintah saat ini justru mengancam kemakmuran rakyat dan kesejahteraan bagi generasi mendatang."
Ia mendesak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait untuk mengubah paradigma investasi dalam pengelolaan sumber daya alam secara terukur. Sumber daya alam harus dikelola secara berkelanjutan dan lestari bukan hanya sekedar keuntungan dari investasi asing, sehingga terkendali dan dapat memberikan manfaat besar bagi rakyat Indonesia dari generasi ke generasi secara berkelanjutan.
(Red)